Kisah Al-Qomah dengan ibunya cukuplah menjadi pelajaran, betapa berharganya
ridha kedua orangtua bagi kita. Dikisahkan pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam ada seorang anak bernama Al-Qomah. Di saat sakaratul maut ia
begitu susah mengucapkan kalimat tauhid, padahal dia seorang yang sangat taat
beribadah semasa hidupnya. Ternyata murka ibunya telah menyebabkan lidahnya
begitu berat untuk mengucapkan kalimat tauhid itu. Sampai akhirnya ibunya
memaafkan kesalahannya, sehingga kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” bisa ia
lafadzkan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Siang itu saya bersama istri
pergi melihat neneknya (dari pihak ayah) yang sedang sakaratul maut, tidak
sadar lagi. Sudah lebih 4 bulan beliau tidak makan, sehingga tidak ada lagi
daging yang membungkus tulang. Kondisi beliau begitu memprihatinkan.
Semua orang yang melihat pasti akan merasa iba. Namun ada satu hal yang lebih
memprihatinkan lagi, dan membuat kami mengurut dada karenanya. Salah satu anak
beliau tidak mau menjenguk beliau. Lebih empat bulan terbujur sakit dan tidak
makan, hanya sekali waktu saja datang menjenguk, meskipun tinggalnya hanya
berbatasan dinding saja. Bahkan di saat beliau dalam kondisi sakaratul maut,
tidak juga terbuka hatinya untuk menjenguk ibunya itu untuk yang terakhir
kalinya. “Begitu tebalkah kabut yang menyelimuti hati?” pikir kami ketika itu.
Kabar yang kami dengar, ketika nenek ini masih sehat ada permasalahan yang
tidak kunjung selesai dengan anak sulungnya itu. Bahkan tidak hanya ibunya,
seluruh saudaranya pun tidak sepaham dengannya. Ketika itu kami tidak mau
mencampuri terlalu jauh, takut akan memperkeruh suasana. Namun melihat kondisi
sang nenek yang semakin parah, hati sayapun tersentak. Meski posisi saya hanya sebagai
menantu, sayapun merasa bertanggung jawab untuk sedikit memberi solusi. Maka
saya menemui kakak tertua di keluarga beliau ini. Saya memanggil beliau bapak.
“Pak, apa tidak sebaiknya kita mengalah sedikit, meminta etek (panggilan kami
kepada beliau) untuk menjenguk nenek yang sedang sekarat ini. Mudah-mudahan
dengan begitu akan terbuka hatinya. Beliau menjawab, “tidak perlu, dia kan tau
ini ibunya, dia sudah besar, sudah bisa berpikir logis. Jadi bukan urusan kita
lagi untuk membujuknya, apalagi memaksanya”.
Jawaban beliau sangat tidak mengenakkan bagi saya. Sebagai kakak yang paling
besar semestinya beliau lebih bijaksana memandang persoalan. Dalam kondisi
seperti ini bukan saatnya lagi mempertahankan ego masing-masing. Sekarang yang
dipikirkan adalah bagaimana nasib orangtua yang sedang sekarat ini. Akankah
tetap dibiarkan beliau kesusahan saat sakaratul maut ini. Kalau tetap dengan
ego masing-masing, berarti tidak sayang kepada orangtua yang sedang menghadapi
salah satu masa terberatnya. “Haruskah api dilawan dengan api? Haruskah
kebencian ditanggapi dengan kebencian?” batin saya. Mengapa saya mengatakan
masa terberat? Karena Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa sakitnya saat
sakaratul maut itu bagaikan sakitnya kambing yang dikuliti hidup-hidup. Dalam
riwayat lain dikatakan seperti burung yang digoreng hidup-hidup. Melihat
kondisi itu, sayapun bilang ke istri, “Dek, bagaimana kalau kita mencoba
membujuk etek, mudah-mudahan Allah melunakkan hati beliau,” ujar saya. Awalnya
istri saya agak urung juga karena kurang yakin akan mampu. Namun setelah saya
yakinkan akhirnya ia mau juga. Maka kami minta izin untuk pergi menemui etek
yang rumahnya hanya berbatasan dinding saja dengan rumah nenek. Sesampai di
sana, kami dipersilakan masuk. Melihat dari aura wajah beliau, sepertinya
beliau terkejut juga. Barangkali di hati beliau bertanya-tanya juga apa tujuan
kami mendatangi beliau dalam kondisi seperti itu. Awalnya kami hanya
bercerita-cerita ringan saja. Bertanya kabar, tentang anak kami, dan juga
keluarga. Di tengah pembicaraan, beliau berkata: “Etek bukannya tidak mau
melihat nenek. Ketika etek ke sana beberapa bulan yang lalu saat nenek masih
sadar, beliau ngomel-ngomel. Beliau tidak menganggap etek anak beliau lagi.
Bermacam-macam omelan nenek yang tidak mengenakkan dilontarkan kepada etek.
Tidak hanya nenek, lanjut beliau, bahkan saudara-saudara etek yang lainpun
bersikap yang sama kepada etek. Pernah juga suatu ketika pada acara keluarga,
etek datang namun etek tidak diacuhkan. Tidak seorang pun yang menyapa etek.
Jadi semenjak saat itu etek putuskan, bahwa mulai hari ini saya tidak akan ke
sini lagi. Anggap saja kita tidak ada pertalian darah lagi,” ucap etek
menerangkan dengan nada agak tinggi kepada kami. Saya tersentak dengan apa yang
beliau ucapkan itu. “Dan terus terang etek tidak ingin menjadi anak durhaka,”
tambah beliau. Ucapan itu beliau ulangi hingga beberapa kali. Dalam hati saya,
kalau tidak ingin menjadi anak durhaka bukan seperti ini caranya.
Hingga beberapa saat kami hanya mendengar saja penuturan etek. Kami pun tidak
terlalu tahu bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya, sehingga begitu panas
perang dingin antara orangtua, anak dan mereka bersaudara itu. Namun kami tidak
mau mengungkit persoalan yang mereka hadapi. Toh tidak ada gunanya juga. Yang
penting bagaimana ke depannya dan bagaimana agar hati etek ini dibukakan oleh
Allah Subahanahu Wa Ta’ala untuk menjenguk ibunya yang lagi sekarat itu.
Setelah beliau selesai menumpahkan segala unek-unek, sayapun mulai menanggapi.
“Tek, kalau seandainya apa yang etek katakan benar, barangkali nenek khilaf.
Bisa jadi ketika itu nenek juga dalam keadaan emosi sehingga apa yang beliau
lontarkan tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat. Manusia tidak ada yang
sempurna. Dan bagaimanapun, hubungan antara anak dengan orangtua tidak bisa
dipisahkan,” jelas saya. Kemudian saya menceritakan seorang teman Cina muallaf
(baru masuk Islam). Dulu beliau dan keluarga beragama Konghucu. Alhamdulillah
beliau mendapat hidayah dan masuk Islam. Namun keluarga besarnya tidak
menyetujui jalan hidupnya itu. Akhirnya beliau dikucilkan dan bahkan diusir
dari keluarganya. Melihat kondisi seperti itu beliau pun memilih hijrah dan
dengan perasaan terpaksa meninggalkan keluarga tercinta demi menyelamatkan
aqidahnya. Meskipun begitu beliau tidak hentinya berusaha dan berdoa agar
keluarganya, terutama kedua orang tuanya juga Allah berikan hidayah. Namun
sepertinya Allah belum berkehendak. Setelah beberapa waktu tidak berkumpul,
beliau mendapat kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia. Mendengar kabar
tersebut beliau sangat sedih, karena ibunya terlalu cepat dipanggil sebelum
hidayah Allah datang kepada beliau. Saat itu beliau langsung pulang kampung dan
menemui jasad ibunya untuk yang terakhir kalinya. Begitu pedih terasa, terlebih
mendengar ibunya akan dibakar sesuai kebiasaan agama Konghucu. Beliau tidak
mampu berbuat apa-apa. Satu hal yang menjadi pelajaran bagi kita, meskipun
sudah diusir dan berbeda keyakinan sekalipun, beliau masih tetap berbuat baik
kepada orang tuanya.” Saya begitu panjang lebar bercerita. “Iya, etek tahu itu.
Etek juga ada belajar agama meskipun sedikit,” jawab beliau. Tanggapan beliau
itu seolah menampar kami. Seolah kami merasa telah menggurui beliau. Kami tak
enak hati juga jadinya. Tapi dalam hati saya minimal kami sudah mencoba, karena
tugas manusia hanya berusaha, dan Allah jugalah yang membukakan pintu hati
manusia. Seketika terdengar suara adzan Ashar dan saya langsung pamitan kepada
etek, karena mau menunaikan shalat Ashar di masjid. Sementara istri saya tetap
di sana karena lagi tidak shalat. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun,
ternyata sore itu Allah berkehendak lain. Nenek dipanggil Allah SWT pada pukul
17.30 sore itu. Semua keluarga sibuk mempersiapkan semuanya.
Ada yang membersihkan rumah karena akan banyak yang datang ta’ziyah, ada yang
sibuk mengabari keluarga-keluarga mereka yang jauh. Keluarga berencana untuk
menyelenggarakan jenazah esok harinya karena masih menunggu beberapa anak
beliau yang merantau di berbagai daerah. Meskipun begitu hingga malam tiba kami
tidak juga melihat etek datang melihat ibunya untuk terakhir kalinya. Sayapun
jadi teringat Firman Allah di dalam Al-Qur’an: “Allah telah mengunci-mati hati
dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa
yang amat berat.” (QS.2:7). “Na’udzubillah,” saya cepat-cepat beristighfar.
“Mudah-mudahan tidak sampai seperti itu,” batin saya. Alhamdulillah, keesokan
paginya kami mendengar kabar bahwa etek sudah datang melihat jasad ibunya,
meskipun sudah tidak bernyawa lagi. Mendengar kabar itu seakan ada rasa puas
dan bahagia yang menyeruak dari balik hati ini. Minimal kami telah menjadi
bagian dari orang-orang yang menyampaikan kebaikan meskipun dalam kondisi yang
cukup sulit seperti itu. Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga dari
kisah ini, Aamiin.
Belum ada tanggapan untuk "Walau Bagaimanapun, Beliau Adalah Ibu Kita "
Post a Comment